Latar Belakang
Berbicara mengenai politik di negara ini tidak akan pernah ada ujungnya. Kita mengaku tinggal di sebuah negara yang katanya memiliki berbagai macam budaya, negara yang tanahnya memiliki kekayaan alam yang melimpah, beribu pulau berjajar sepanjang perairannya, dan rakyatnya begitu ramah. Akankah kita bangga dengan apa yang telah kita miliki? Tidakkah sebenarnya kita hanya menggunakan topeng masa lalu kita? Para pejuang dan pahlawan negeri ini pasti telah menangis di alam kuburnya ketika mendengar budaya yang ditinggalkannya telah dicuri, tanah yang telah diperjuangkannya diinjak dan ditempati oleh para penjilat yang rakus, rakyatnya yang begitu ramah telah berubah menjadi rakyat yang anarkis karena tak tahan menahan penderitaan hidup. Sebuah kata demokrasi yang telah dijadikan dasar pemerintahan ini hilang entah kemana. Demokrasi masa kini hanya menimbulkan protes dan demo dimana-mana yang acap kali tidak memiliki makna dan hasil apapun.
Sebagai seorang mahasiswa yang berjiwa nasionalisme dan patriotisme marilah kita tengok sejenak dan menyadarkan diri kita tentang arti penting demokrasi. Dalam pembahasan ini akan diuraikan tentang masalah politik Indonesia yang menyebabkan terbelenggunya sistem demokrasi sehingga menjadikan rakyat bersifat apolitik yaitu tidak peduli akan sistem politik yang berjalan di negeri ini. Sebuah pernyataan presiden yang mengakui bahwa demokrasi tidak sepantasnya untuk dipaksakan. Inilah sebuah realitas politik yang menyebabkan gelapnya demokrasi negeri ini.
Perkembangan Demokrasi di Indonesia
Telah kita ketahui bersama bahwa Indonesia adalah negara yang menerapkan sistem demokrasi dalam menjalankan pemerintahannya, yaitu pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sistem demokrasi telah dijadikan sebagai bahan ajar baik di bangku SMP, SMA, atau bahkan di bangku kuliah sehingga kita tentunya telah paham dan mengerti apa itu demokrasi dan bagaimana seharusnya sistem ini diterapkan. Sistem demokrasi telah dianut dan dijalankan oleh bangsa Indonesia sejak pertama berdirinya negara ini. Indonesia setidaknya telah melalui empat masa demokrasi dengan berbagai versi. Pertama adalah demokrasi liberal dimasa kemerdekaan. Kedua adalah demokrasi terpimpin, ketika Presiden Soekarno membubarkan konstituante dan mendeklarasikan demokrasi terpimpin. Ketiga adalah demokrasi Pancasila yang dimulai sejak pemerintahan Presiden Soeharto. Keempat adalah demokrasi yang saat ini masih dalammasa transisi.
Keempat demokrasi di atas memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Tahun 1945-1959; Demokrasi Parlementer, dengan ciri;
a) Dominasi partai politik di DPR
b) Kabinet silih berganti dalamwaktu singkat
c) Demokrasi Parlementer ini berakhir dengan Dekrit Presiden 1959.
2. Tahun 1959-1965; Demokrasi Terpimpin, dengan ciri-ciri:
a) Dominasi presiden, yang membubarkan DR hasil Pemilu 1955,menggantikannya dnegan DPR-GR yang diangkat oleh Presiden, juga diangkat presiden seumur hidup oleh anggota parlemen yang diangkat presiden itu.
b) Terbatasnya peran partai politik
c) Berkembangnya pengaruh komunis
d) Munculnya ideologi Nasional, Agama, Komunis (NASAKOM)
e) Meluasnya peranan militer sebagai unsur sosial politik
f) Demokrasi terpimpin berakhir dengan pemberontakan PKI September 1965.
3. Tahun 1965-1998; Demokrasi Pancasila; dengan ciri-ciri:
a) Demokrasi berketuhanan
b) Demokrasi yang berkemanusiaan yang adil dan beradab
c) Demokrasi bagi persatuan Indonesia
d) Demokrasi yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
e) Demokrasi berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Kita tidak menafikan betapa indah susunan kata berkaitan dengan Demokrasi Pancasila, tetapi pada tataran praksis sebagaimana yang kita lihat dan rasakan. Kala itu dikenal politik massa mengambang, yakni eksistensi dan kiprah partai politik hanya sampai di tingkat kabupaten/kota. Tetapi dipihak lain dengan pongah, arogan dan brutal partai hegemonik dihidupkan sampai ke pelosok-pelosok desa. Periode ini berakhir dengan tumbangnya rezim orde baru di bawah komando jenderal besar Soeharto.
4. Tahun 1998- sekarang, orde reformasi dengan ciri-ciri enam agenda:
a) Amandemen UUD 1945
b) Penghapusan peran ganda (multifungsi) TNI
c) Penegakan supremasi hukum dengan indikator mengadili mantan Presiden Soeharto atas kejahatan politik, ekonomi dan kejahatan atas kemanusiaan.
d) Melaksanakan otonomi daerah seluas-luasnya
e) Penegakan budaya demokrasi yang anti feodalisme dan kekerasan
f) Penolakan sisa-sisa Orde Lama dan Orde Baru dalam pemerintaha
Demokrasi dalam arti sebenarnya terkait dengan pemenuhan hak asasi manusia. Dengan demikian ia merupakan fitrah yang harus dikelola agar menghasilkan output yang baik. Setiap manusia memiliki hak untuk menyampaikan pendapat, berkumpul, berserikat dan bermasyarakat. Dengan demikian, demokrasi pada dasarnya memerlukan aturan main. Aturan main tersebut sesuai dengan nilai-nilai Islam dan sekaligus yang terdapat dalam undang-undang maupun peraturan pemerintah. Di masa transisi, sebagian besar orang hanya tahu mereka bebas berbicara, beraspirasi, dan berdemonstrasi. Namun aspirasi yang tidak sampai akan menimbulkan kerusakan. Tidak sedikit fakta yang memperlihatkan adanya pengrusakan ketika terjadinya demonstrasi menyampaikan pendapat. Untuk itu orang memerlukan pemahaman yang utuh agar mereka bisa menikmati demokrasi. Demokrasi di masa transisi tanpa adanya sumber daya manusia yang kuat akan mengakibatkan masuknya pengaruh asing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini adalah tantangan yang cukup berat juga dalam demokrasi yang tengah menapak. Pengaruh asing tersebut jelas akan menguntungkan mereka dan belum tentu menguntungkan Indonesia. Dominannya pengaruh asing justru mematikan demokrasi itu sendiri karena tidak diperbolehkannya perbedaan pendapat yang seharusnya menguntungkan Indonesia. Standar ganda pihak asing juga akan menjadi penyebab mandulnya demokrasi di Indonesia.
Harapan dari adanya demokrasi yang mulai tumbuh adalah ia memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk kemaslahatan umat dan juga bangsa. Misalnya saja, demokrasi bisa memaksimalkan pengumpulan zakat oleh negara dan distribusinya mampu mengurangi kemiskinan. Disamping itu demokrasi diharapkan bisa menghasilkan pemimpin yang lebih memperhatikan kepentingan rakyat banyak seperti masalah kesehatan dan pendidikan. Tidak hanya itu, demokrasi diharapkan mampu menjadikan negara kuat. Demokrasi di negara yang tidak kuat akan mengalami masa transisi yang panjang. Dan ini sangat merugikan bangsa dan negara. Demokrasi di negara kuat (seperti Amerika) akan berdampak positif bagi rakyat. Sedangkan demokrasi di negara berkembang seperti Indonesia tanpa menghasilkan negara yang kuat justru tidak akan mampu mensejahterakan rakyatnya. Negara yang kuat tidak identik dengan otoritarianisme maupun militerisme.
Harapan rakyat banyak tentunya adalah pada masalah kehidupan ekonomi mereka serta bidang kehidupan lainnya. Demokrasi membuka celah berkuasanya para pemimpin yang peduli dengan rakyat dan sebaliknya bisa melahirkan pemimpin yang buruk. Harapan rakyat akan adanya pemimpin yang peduli di masa demokrasi ini adalah harapan dari implementasi demokrasi itu sendiri. Di masa transisi ini, implementasi demokrasi masih terbatas pada kebebasan dalam berpolitik, sedangkan masalah ekonomi masih terpinggirkan. Maka muncul kepincangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Politik dan ekonomi adalah dua sisi yang berbeda dalam sekeping mata uang, maka masalah ekonomi pun harus mendapat perhatian yang serius dalam implementasi demokrasi agar terjadi penguatan demokrasi.
Kegagalan Demokrasi dan realisasinya
Demokrasi di Indonesia memberikan harapan akan tumbuhnya masyarakat baru yang memiliki kebebasan berpendapat, berserikat, berkumpul, dan berpolitik dimana masyarakat mengharap adanya iklim ekonomi yang kondusif. Untuk menghadapi tantangan dan mengelola harapan ini agar menjadi kenyataan dibutuhkan kerjasama antar kelompok dan partai politik agar demokrasi bisa berkembang ke arah yang lebih baik.
Namun, kini kita lihat kenyataan yang ada sekarang ini, berbagai masalah politik dan manipulasinya telah menggelapkan negeri yang katanya cinta damai ini. Kerumitan akibat luasnya ruang lingkup konflik di tanah air, merupakan potensi gangguan kekerasan. Bentuk keragaman dengan konsekuensi menguatnya politik kekerasan, muncul karena adanya berbagai macam alasan, seperti kegagalan lembaga-lembaga politik dan hukum untuk menyediakan perangkat/aturan bagi penyelesaian konflik maupun mengatasi keluhan-keluhan, konsolidasi (penguatan) identitas-identitas komunal dimana kelompok-kelompok bersaing mendapatkan akses untuk atau kendali atas sumber-sumber ekonomi, dan penggunaan kekerasan yang dijatuhkan oleh negara (state-sanctioned violence) untuk menghasut atau menekan konflik. Dalam kontek ini, klaim bahwa Indonesia adalah suatu budaya yang penuh kekerasan (a violent culture) hanyalah sebuah klaim politik yang dapat dimanfaatkan untuk membenarkan kembalinya penguasa yang otoriter dan kekerasan negara berikutnya. Berdasarkan realitas politik seperti itu, paham multikulturalisme diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap proses demokratisasi.
Masalah yang sering timbul saat ini adalah rakusnya para pejabat pemerintahan terhadap uang rakyat. Korupsi yang mereka lakukan tidak lagi sembunyi-sembunyi tetapi mereka beramai-ramai dan membentuk kelompok serta jaringan untuk menikmati uang rakyat. Mereka satu sama lain menutupi borok teman-temannya, karena hanya dengan tutup mulut mereka bisa mendapatkan uang dengan mudah. Manipulasi yang di lakukan oleh para pejabat pemerintahan ini tentunya menimbulkan protes dari para rakyat yang merasa dirugikan akibat ulah pemerintah tersebut dengan melakukan demo dan kekerasan serta merusak sarana yang ada. Inilah bentuk demokrasi yang salah, karena demokrasi yang diterapkan baik oleh pemerintah maupun rakyat tidak mencerminkan tujuan dari demokrasi itu sendiri yaitu perdamaian.
Berdasarkan surat kabar harian Kompas, 9 Desember 2010, Ranah politik Indonesia sepanjang 2010 ini didominasi oleh peran tiga aktor, yaitu kelompok partai politik, Presiden, dan mahasiswa/aktivis. Sementara itu, kelompok lainnya, seperti militer dan pengusaha, jauh di luar arena permainan. Ketiga kelompok strategis tersebut saling terkunci dan mengunci satu sama lain. "Akibatnya, politik menjadi deefektif karena energi tiap aktor, utamanya partai politik dan Presiden, terkuras untuk melakukan manuver politik, baik dalam arti mempertahankan diri maupun melakukan kontestasi," kata pengamat politik, Sukardi Rinakit, Kamis (9/12/2010) di Jakarta. Hampir semua partai, utamanya empat partai yang memperoleh suara terbanyak pada Pemilu 2009, terkunci oleh suatu kasus pada 2010. Partai Demokrat disandera skandal Bank Century, Golkar oleh kasus mafia pajak Gayus HP Tambunan, PDI-P oleh kasus pemilihan Deputi Gubernur Senior BI Miranda Goeltom, dan PKS oleh kasus L/C Misbakhun. "Masing-masing dari mereka tiarap mana kala kasusnya mencuat dan menjadi diskursus publik," katanya.
Situasi seperti ini, kata Sukardi, menyedot energi keempat partai tersebut. Mereka seperti kehilangan fokus. Partai-partai koalisi di dalam Sekretariat Gabungan alias Setgab lebih sibuk memikirkan hal-hal sepele, seperti kocok ulang formasi kabinet daripada mendorong kinerja pemerintah secara keseluruhan. Sebaliknya, partai-partai oposisi, terutama PDI-P, tidak bergairah terlibat dalam kebijakan-kebijakan pemerintah. Kondisi tersanderanya partai politik memberi ruang bagi Presiden untuk mengunci parpol koalisi. Namun, Sukardi mengatakan, di sinilah ironi politik terjadi.
"Melihat karakter Presiden yang peragu, partai-partai mitra koalisi justru memanfaatkan Setgab sebagai arena untuk mengontes Presiden apabila kepentingan partai terganggu. Akibatnya, urusan strategis menyangkut manajemen pemerintahan dan ketatanegaraan seperti pemilihan ketua KPK, Komisi Yudisial, Kapolri, dan Jaksa Agung, menjadi berlarut-larut. Karena tekanan partai tersebut, Presiden seperti tersandera dan praktik 'karetisasi' politik Presiden pun menjadi tak terelakkan," kata Sukardi. "Karetisasi" politik ini diperburuk oleh komunikasi Presiden yang high context dan tak efektif. Ini bukan saja membuat publik tidak paham maksud Presiden, tetapi juga memicu konflik. Komentar tentang monarki Yogyakarta, katanya, adalah contoh terakhir dari komunikasi Presiden yang deefektif.
Demokrasi Bukan untuk Dipaksakan
Banyaknya aksi protes yang dilakukan oleh berbagai kalangan seperti para buruh yang berontak terhadap kenaikan harga bahan pangan, karyawan pabrik yang menutut kenaikan gaji, dan khususnya para mahasiswa yang berdemo atas nama rakyat sebenarnya adalah sebuah bentuk demokrasi yang dipaksakan. Dipaksakan disini memiliki arti sebuah tuntutan yang memaksa pemerintah untuk mendengar suara rakyat. Apakah sebuah sistem demokrasi itu harus tumbuh karena paksaan?
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, demokrasi bukan sesuatu yang dapat dipaksakan dari luar. Sebaliknya, demokrasi harus ditumbuhkan dari dalam masyarakat itu sendiri atau melalui pemberian kesempatan dan ruang yang lebih luas serta pemberdayaan masyarakat. Demokrasi yang dipaksakan dari luar, justru dapat menimbulkan komplikasi politik, yang pada akhirnya dapat menguras tenaga dan daya dorongnya. Presiden Yudhoyono menyampaikan hal itu saat membuka Forum Demokrasi Bali (Bali Democracy Forum/BDF) Ke-3 di Nusa Dua, Bali, Kamis (9/12/2010). Dalam acara itu, hadir tiga kepala pemerintahan, yaitu Presiden Korea Selatan Lee Myung-bak, Sultan Brunai Darussalam Hasannal Bolkiah dan Perdana Menteri Timor Leste Xanana Gusmao dan para menteri luar negeri serta utusan dari 71 negara dan peninjau lainnya.
"Berbagai fakta perkembangan dan dinamika selama kurun waktu 10 tahun lamanya, menunjukkan demokrasi di Indonesia telah menghasilkan stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat yang signifikan," ujar Presiden Yudhoyono. Belajar dari pengalaman itulah, tambah Kepala Negara, demokrasi bukan sesuatu yang datang dengan sendirinya. "Bukan pula sesuatu yang dipaksakan dari luar. Akan tetapi, justru harus ditumbuhkan dari dalam masyarakat itu sendiri (home grown), melalui pemberian kesempatan dan ruang yang lebih luas serta pemberdayaan mereka. Kalau dipaksakan dari luar, bisa menimbulkan komplikasi politik," lanjutnya.
Presiden Yudhoyono sebelumnya memaparkan pengalaman demokrasinya di Indonesia sejak reformasi tahun 1998-1999 silam, yang telah mengubah tatanan politik, tata kelola pemerintahan dan etika bernegara. Dicontohkan oleh Presiden di antaranya mulai dari perubahan sistem politik yang sentralistik menjadi desentralistik, pemilihan umum yang berlangsung jujur, adil, terbuka dan transparan, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung serta pemilihan kepala daerah, penyelesaian konflik sampai penanganan kejahatan terorisme.
Kesimpulan
Demokrasi adalah sesuatu hal yang tidak bisa dipaksakan. Demokrasi berasal dari hati nurani masyarakat itu sendiri. Sifat masyarakat yang apolitik terhadap negara adalah sebuah wujud demokrasi yang dipaksakan. Apakah mungkin masyarakat tetap bersuara jika suaranya tidak didengar? Banyaknya penduduk di Indonesia yang membludhag adalah sebuah pemicu permasalahan utama sulitnya diberlakukan demokrasi yang ideal. Disini kita tidak bisa menyalahkan pada salah satu pihak, bukan pemerintah ataupun masyarakatnya, tapi ini adalah kesalahan bersama jika memang kita mengaku sebagai negara yang demokrasi yaitu harus ada komunikasi dan rasa kekeluargaan atas dasar tanggung jawab bersama.
Saran
Kita semua adalah rakyat Indonesia, tidak ada istilah pemerintah ataupun rakyat jelata. Seorang pejabat pemerintahan akan menjadi rakyat biasa seperti kita ketika mereka melepas jabatannya. Sehingga marilah kita menyadari arti demokrasi, saling bekerja sama dalam segala hal. Tak akan pernah ada masalah yang dapat terselesaikan jika antara satu dengan lainnya saling menyalahkan. Jika kita menyadari diri kita salah, marilah kita berpikir seberapa banyak orang yang dirugikan akibat kesalahan kita. Tanamkanlah pada diri kita sebuah pemikiran yang bermoral sehingga orang lain senang dengan apa yang kita kerjakan.
DAFTAR PUSTAKA
www.kompas.com
www.forum-politisi.org
www.news.okezone.com
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2010/12/09/72613/Demo-Korupsi-dengan-Aksi-Teatrikal
http://id.shvoong.com/law-and-politics/political-economy/2081208-penduduk-miskin-ri-kali-penduduk/
http://www.tempointeraktif.com/index/
0 komentar:
Posting Komentar